Untuk Direnungkan

....Apabila beliau sampai pada ayat yang mengandung tasbih, beliau bertasbih. Apabila sampai pada ayat yang mengandung permintaan, beliau meminta (berdoa). Dan apabila sampai pada ayat yang mengandung perlindungan, beliau berta'awwudz (memohon perlindungan).(Riwayat Imam Muslim di dalam kitab Shohihnya) Hadits dari sahabat Hudzaifah ibnu Yaman. Dari Kitab Al Adzkar Imam Nawawi Rohimahulloh. Dalam subbab "Hal yang harus dilakukan setelah membaca ayat rahmat dan ayat azab"

Wednesday, March 28, 2012

Perjuangan Soedirman Moentari, Mengajarkan Islam di Suriname





REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kebanyakan orang Jawa Suriname tidak menguasai Bahasa Indonesia. Keturunan buruh Jawa yang diangkut Belanda ke Suriname sekitar 130 tahun lalu ini, terutama generasi tuanya, masih bisa berbahasa Jawa.

Perkenalkan: Soedirman Moentari merupakan pengecualian. Salah satu dari sedikit orang Jawa Suriname yang sangat pandai berbahasa Indonesia. Dan ia juga religius. Sebelum bertolak ke Belanda, generasi ketiga buruh kontrak Jawa ini sempat belajar Bahasa Indonesia di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Paramaribo.

Ketika masih tinggal di Suriname, Soedirman yang sekarang bermukim di Belanda, aktif di sebuah yayasan Islam di negara Amerika Latin itu. Pada tahun 1999 ia ke Belanda untuk naik haji, karena unruk berangkat langsung dari Suriname ke Arab Saudi banyak kesulitan.

Pulang dari Mekkah, Soedirman tidak langsung ke Suriname dan malah menetap di negeri kincir angin ini. "Rencananya dua tahun, tapi sampai sekarang saya masih di sini, " katanya sambil ketawa.

Berkat doa, tambah Soedirman, ia akhirnya bisa bekerja sebagai dosen biologi di sebuah sekolah menengah Islam di Rotterdam. Sekolah ini bernama Islamitische Schoolgemeenschap Ibn Chaldoun.

Untuk bisa mengajar bilogi di sekolah itu, insinyur peternakan jebolan Universitas Wageningen ini, harus melanjutkan studinya.  "Pada 2002 saya akhirnya meraih ijazah Master of Sciense biologi di Universitas Leiden, " kata Soedirman.

Sejak di Suriname Soedirman Moentari aktif menulis mata pelajaran agama Islam dalam bahasa Belanda. Bahan-bahannya banyak ia ambil dari Indonesia. "Karena anak-anak kami di Suriname dan di Nederland (Belanda, red) nggak bisa lagi bahasa Jawa, " katanya.

Menariknya Ustaz Soedirman ini memberi khotbah di masjid Suriname dalam dua bahasa yaitu Belanda dan Jawa. Bahasa Jawa untuk generasi tua dan bahasa Belanda untuk generasi muda. Tapi meski pintar berbahasa Indonesia, Soedirman belum sempat ke Indonesia.
Redaktur: Stevy Maradona

Resensi Buku: MEMBACA SIRAH NABI MUHAMMAD SAW oleh Azyumardi Azra (Dimuat di Harian Kompas Minggu 29 Januari 2012, Hal. 22) | Lentera Hati

Buku Baru

Resensi Buku: MEMBACA SIRAH NABI MUHAMMAD SAW oleh Azyumardi Azra (Dimuat di Harian Kompas Minggu 29 Januari 2012, Hal. 22)

February 1st, 2012
MEMBACA SIRAH NABI MUHAMMAD SAW
Azyumardi Azra*

Sosok Nabi Muhammad SAW, tidak diragukan lagi, merupakan salah satu di antara sedikit orang—dalam kesimpulan Michael Hart (1978)—yang sangat memengaruhi perjalanan sejarah. Bukan hanya dalam bidang keagamaan, melainkan juga hampir di seluruh aspek kehidupan. Hart bahkan menempatkan Rasulullah pada urutan pertama dari 100 figur yang paling berpengaruh. Karena itu, sosoknya menjadi obyek penelitian dan penulisan yang tidak pernah habis-habisnya.
Buku karya Profesor M. Quraish Shihab ini merupakan riwayat Rasulullah paling mutakhir dalam bahasa Indonesia. Buku orisinal ini bukan terjemahan seperti umumnya, melainkan merupakan karya luar biasa dan amat substantif. Sebab, karya komprehensif ini memaparkan sekaligus menganalisis secara kritis berbagai karya lain tentang riwayat Nabi Muhammad SAW.
Historisitas dan Mitologi
Karya ini memiliki distingsi yang sekaligus merupakan kekuatan pokok, yaitu penekanan yang kuat pada historisitas Nabi Muhammad SAW dengan mendasarkan diri pada sumber-sumber historis yang keabsahannya tidak diragukan lagi. Selain Al-Quran yang tidak tergoyahkan historisitasnya—walau ada kalangan orientalis klasik mempersoalkan—penulis juga mendasarkan periwayatannya pada hadis-hadis (hadits-hadits) sahih.
Mengapa hadis-hadis sahih? Lagi-lagi, kalangan orientalis, seperti Ignaz Goldziher (1850-1921, Introduction to Islamic Theology and Law, 1981) dan Joseph Schacht (1902-1969, Origins of Muhammadan Jurisprudence, 1950) bahkan menolak eksistensi hadis sebagai bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Menurut mereka, hadis-hadis itu baru ada setelah abad pertama dan kedua Hijriah. Namun, MM Azami (Studies in Hadith Methodology and Literature, 1978) dan Fazlur Rahman (1911-88, Islamic Methodology in History, 1965) dengan meyakinkan membuktikan kekeliruan Schacht dan Goldziher tersebut. Rahman berargumen, sangat absurd jika Muhammad, sebagai figur historis yang amat penting, tidak menyatakan dan berbuat sesuatu yang menjadi bagian penting dari memori kolektif para sahabatnya, yang kemudian dicatat dan menjadi hadis.
Namun, harus diakui juga tidak semua hadis dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Para muhadditsun (ahli hadis)—yang sejak masa paling awal memeriksa, menguji, dan menapis hadis—menemukan tidak hanya hadis-hadis dha’if (lemah), tetapi juga palsu. Yang terakhir ini tidak hanya menyangkut soal keagamaan, tetapi juga politik. Sudah menjadi pengetahuan para muhadditsun dan muarrikhun (sejarawan), bahwa terdapat “hadis-hadis” politik dan keagamaan untuk mendukung kepentingan “sektarian” dan partisan sejak masa pertikaian. Bahkan, termasuk pula “al-fitnah al-kubra” antara pihak Ali ibn Abi Talib dengan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan.
Sejauh menyangkut sirah Nabi Muhammad SAW, terdapat hadis-hadis” Israiliyat, yang banyak bersumber dari riwayat Biblikal yang laten dalam memori kolektif bangsa Semitik—lingkungan sosio-kultural, di mana Islam pertama kali disampaikan Nabi Muhammad SAW. Karena itulah, mitologi Biblikal (Israiliyat) akhirnya sedikit banyak masuk ke dalam biografi Rasulullah melalui para penulis sirah yang tidak kritis. Bahkan, tidak juga melakukan pengujian terhadap “hadis-hadis” dhaif yang sebenarnya merupakan biblical account atau periwayatan biblikal alias Israiliyat.
Sebab itulah, sebagian penulis biografi Nabi Muhammad, khususnya Husayn Haykal (1933), menolak menggunakan sumber-sumber hadis yang mengandung “mitologi”, termasuk yang berkaitan dengan mukjizat Rasulullah. Hasilnya, sosok Rasulullah dalam biografi karya Haykal tampil lebih banyak sebagai “manusia biasa”, tidak sebagai seorang Nabi yang memang memiliki berbagai kelebihan dan keistimewaan. Dengan cara itu, Haykal telah mereduksi sosok Muhammad SAW.
Sebaliknya, Profesor Quraish Shihab terlihat mengambil “jalan tengah” di antara kedua kecenderungan itu, yakni kecenderungan “mitologis” dan kecenderungan “reduksionis”. Ia menekankan pentingnya hadis, dalam hal ini hadis shahih yang umumnya mutawatir sebagai sumber kedua setelah Al Quran. Hasilnya, Profesor Quraish Shihab menampilkan sosok Muhammad bukan hanya sebagai manusia biasa, melainkan sekaligus juga figur Nabi/Rasul yang memiliki kelebihan, keunggulan, dan keistimewaan yang tidak tertandingi. Dengan begitu, Quraish Shihab mampu tetap berada dalam ranah historisitas karena mendasarkan periwayatannya pada sumber-sumber otentik, yakni Al Quran dan hadi sahih.
Klasik dan Kontemporer
Lebih jauh, karya Quraish Shihab ini memiliki keunggulan yang jarang ditemui dalam sirah dan biografi Nabi Muhammad SAW lainnya. Boleh jadi, orang yang mendengar istilah sirah bakal berpikir, riwayat Nabi ini merupakan classical account (riwayat klasik) tentang Rasulullah, yang berpusat hanya pada peristiwa-peristiwa seputar kehidupannya.
Anggapan seperti ini keliru, karena sirah karya Quraish Shihab ini menggabungkan periwayatan klasik dengan hujjah, argumen, wacana akademis, dan bukti kontemporer tentang hal atau kejadian tertentu menyangkut Rasulullah. Hal ini terlihat dengan kelincahan Quraish Shihab mengutip dan mendiskusikan argumen pakar lain, mulai dari yang non-Muslim, seperti James Houston Baxter, Boswors Smith sampai pemikir dan aktivis muslim modern, seperti Abu al-Hasan al-Nadwi, Sayyid Quthb, dan Mutawalli al-Sya’rawi.
Penggabungan nuansa “klasik” dan “kontemporer” itu juga tecermin dalam alur penulisan yang dianut Quraish Shihab. Seperti lazimnya dibicarakan dan diadopsi dalam penulisan karya-karya sejarah. Secara sederhana, terdapat dua kecenderungan penulisan sejarah: pendekatan tematik dan annalistik (dari tahun ke tahun).
Dalam konteks itu terlihat sirah ini terbagi ke dalam dua bagian besar. Pertama, bersifat tematik; mulai dari “kondisi umum masyarakat menjelang kelahiran Muhammad SAW” sampai “prosesi hijrah”. Kedua, bersifat annalistik; dalam periode Madinah sampai wafatnya Rasulullah. Periwayatan annalistik ini mengingatkan orang tidak hanya kepada Al-Tabari yang menulis karya terkenalnya Tarikh al-Umam wa al-Muluk, tetapi juga kepada “Mazhab Annales” Perancis di masa kontemporer. Wallahu a’lam bis-sawab.
*AZYUMARDI AZRAGuru Besar Sejarah, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
DATA BUKU:
JudulMembaca Sirah Nabi Muhammad SAW Dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih
Penulis: M. Quraish Shihab
Penerbit: Lentera Hati, Jakarta.
Cetakan: I, Juni 2011
Tebal: xiii + 1166 halaman
ISBN: 978-979-9048-87-5
Klik di sini untuk memesan secara online atau dapatkan di toko buku terdekat. Untuk informasi lengkap hubungi: 021-7424373 dengan Lusy atau Carol.
Ikuti kami di Twitter: @LenteraHatiBook.










Segera Terbit: “SERBA 3 DARI NABI MUHAMMAD SAW” – DR. Mahran Mahir Utsman

Resensi Buku: MEMBACA SIRAH NABI MUHAMMAD SAW oleh Azyumardi Azra (Dimuat di Harian Kompas Minggu 29 Januari 2012, Hal. 22)

AL-GHAZALI MENJAWAB 100 SOAL KEISLAMAN

DOA ASMAUL HUSNA: Doa yang Disukai Allah

Ramadhan bersama Lentera Hati: Pake Hemat Bermanfaat

MEMBACA SIRAH NABI MUHAMMAD saw.

ISA PUTRA MARIA : Dalam Injil dan Al-Quran






Resensi Buku: MEMBACA SIRAH NABI MUHAMMAD SAW oleh Azyumardi Azra (Dimuat di Harian Kompas Minggu 29 Januari 2012, Hal. 22) | Lentera Hati

Apakah Makna Matsâbah dalam Ayat 125 Surah al-Baqarah?

Tanya:
Assalamu’alaikum wr. wb.
Apakah benar matsâbah dalam ayat 125 surah al-Baqarah dapat diartikan “tempat pengimbalan” karena ada sekian banyak buku tafsir mengartikannya “tempat berkumpul atau berhimpun”? Apakah mungkin peristiwa-peristiwa dalam ayat 153 surah Âli ‘Imrân, ayat 85 surah al-Mâ’idah, dan ayat 18 surah al-Fath dapat dipahami dengan menganalogikannya sebagai tempat pengakuan dosa dan pengikraran iman terhadap kedudukan Ka‘bah, padahal menurut pengetahuan saya yang awam, Ka‘bah hanyalah perlambang semata? Apakah seorang Muslim yang berdosa harus meminta pengampunannya di hadapan Ka‘bah dan apakah Islam mengenal lembaga pengakuan dosa?
[Mansyur Balfas - via formulir pertanyaan]
Jawab:
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Dalam Mu‘jam Mufradât Al-Qur’ân karya ar-Raghîb al Asfahânî, seorang pakar bahasa al-Qur’an, penjelasan tentang arti matsâbah ditemukan dalam subkata tsawaba, yang makna dasarnya—menurut pakar ini— adalah “kembalinya sesuatu kepada keadaan atau ide dasarnya semula.” Misalnya, pakaian disebut tsawb karena benang yang dipintalnya kembali kepada ide atau tujuan adanya benang-benang itu, yakni sebagai pakaian.
Jika Anda berkata, “Tsâba ilâ dârihi”, maka kalimat itu berarti, “Ia kembali ke rumahnya”. Al-Matsâbah bermakna, antara lain, “tempat berdiri di mulut sumur (untuk mengambil air)”. Sebab, di tempat itu, orang selalu berbolak-balik dan kembalinya mereka ke sana sesuai dengan ide dasar atau tujuan diciptakannya sumur. Tsawâb yang berarti “ganjaran perbuatan” tidak terlepas dari makna itu juga. Sebab, ganjaran itu kembali kepada manusia sesuai dengan amalnya seakan-akan “amal” itu sendiri yang kembali. Janda yang dalam bahasa Arab disebuttsayyib juga berasal dari akar kata yang sama, karena dia kembali kepada keadaannya semula, yakni tanpa suami.
Kembali kepada kata matsâbah. Ada juga yang mengartikan kata ini sebagai “bilangan yang banyak”. Hal ini disebabkan bilangan yang banyak biasanya menjadi tempat kembali atau rujukan orang. Pakar bahasa, Ibnu Fâris, juga mengemukakan keterangan yang tidak jauh berbeda.
Kata matsâbah yang Anda tanyakan dalam ayat 125 surah al- Baqarah [2]: 125 di atas berarti “tempat orang kembali ke sana”, karena orang tidak pernah puas (sehingga selalu kembali). Inilah yang menjadikan tempat itu sebagai tempat berkumpul. Jika tempat itu dikaitkan dengan tsawâb yang berarti “ganjaran”, maka nama tempat itu boleh jadi diartikan sebagai “tempat mencatat ganjaran amal kebajikan”. Pendapat ini dikemukakan oleh ar-Raghîb dengan isyarat bahwa ini adalah pendapat yang lemah. Saya juga berpendapat demikian, karena yang demikian itu memberi kesan bahwa hanya di tempat itu sajalah terjadi pencatatan ganjaran, padahal tidak demikian halnya. Kesulitan yang sama akan diperoleh bila yang dimaksud adalah tempat pengimbalan, karena seseorang tidak mendapat imbalan di tempat itu.
Begitu juga halnya jika kata itu diartikan sebagai “tempat bertaubat”. Sebab, walaupun orang dianjurkan untuk berdoa, antara lain, “memohon ampunan Allah di sana”, sekali lagi bisa muncul kesan adanya tempat tertentu, meski semua makna yang dilemahkan di atas bisa dipertanggungjawabkan dari segi bahasa. Hanya saja, mayoritas ulama al-Qur’an tidak memilihnya disebabkan adanya kesan-kesan negatif itu dan adanya makna yang lebih jelas, yakni tempat berhimpun atau berkumpul. Anda benar bahwa Islam tidak mengenal lembaga pengampunan dosa dan tidak menetapkan tempat khusus untuk memohon ampunan-Nya.
Ayat 153 surah Âli ‘Imrân yang menggunakan kata atsâba juga terambil dari akar kata yang sama dengan kata matsâbah. Kata atsâba di sini berarti “memberi balasan”, sementara dalam ayat 85 surah al- Mâ’idah, ayat 18 surah al-Fath bermakna “memberi ganjaran atau imbalan”. Semua makna ini tidak keluar dari makna dasar kata itu, namun berbeda-beda sesuai dengan konteks pembicaraan.
[M. Quraish Shihab, Dewan pakar Pusat Studi al-Qur'an]

Apakah Makna Matsâbah dalam Ayat 125 Surah al-Baqarah?
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...